breaking
Gambar tema oleh mskowronek. Diberdayakan oleh Blogger.

menulis untuk peradaban

menulis untuk peradaban

renungan & kontemplasi

renungan & kontemplasi

celoteh anak negeri

celoteh anak negeri

Puisi Waktu.

Oleh: Magenta Bintang Cakrawala 

Malam menggagahi waktu
Pujaku meminta rahmat-Mu
Genang air mata pada kolam dosa
Sesalku menikam durja

Pagiku menjauh
Siang terbunuh sia
Senjaku sirna tanpa asa
Matilah diriku!

Demi waktu, Tuhan beri kelonggaran
Kumalah ingkar tak jalankan

Tuhan beriku kesempatan
Kumalah siakan berlalu enggan

Sekarang apa mauku?
Selain sujud menggerogoti dosa

Berharap timbunannya tergusur
Ampunan menggiring ke surga

Seribu satu detik
Kubuang waktu tanpa hikmah petik

Tuhan,
jika kau beriku kesempatan kedua

Inginku berbenah diri
Tinggalkan maksiat
Menuju syariat
Namun laku bejat
Jadikanku penjahat

Tuhan,
bersimpuh aku di malam-Mu

Merintih tangis diperbatasan waktu
Bersandar pada dinding-dinding kerapuhan
Biar sesal mengulitiku
Cinta Sang Pejuang Pena (Antologi FLP Jatim). 

Oleh: Novi Istina 


Menatap beku SK (baca: Surat Keputusan) yang meringkuk pasrah di meja kamar saya yang kaku. Malam itu, mata saya tak sanggup terpejam, betambah lagi amanah, berarti bertambah pula tanggung jawab yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapanNya. Dalam episode yang sama peristiwa ini terjadi sepuluh tahun silam, saat diri ini harus memikul amanah menjadi kepala suku organisasi kepenulisan yang bervisi pencerahan, Forum Lingkar Pena (FLP).

SK kepengurusan itu seolah mengajak saya untuk membuka lembaran kisah lama yang barangkali saat itu 'gagal' saya maknai dengan hati nurani terdalam. Bergabung dalam Forum Lingkar Pena, bagi saya, seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia semester tiga waktu itu adalah sebuah puncak pencapaian idealisme yang sempurna. Setelah dua tahun menjadi anggota FLP Cabang Malang, meski tergolong anggota yang jarang hadir, di tahun 2005, entah bagaimana awalnya hingga kemudian saya didaulat menjadi pucuk pimpinannya. Dengan sangat 'terpaksa', akhirnya saya harus mengemban amanah sebagai ketua umum pertama FLP Ranting Universitas Negeri Malang (UM).

Ketua yang 'gagal' begitu berulang-ulang saya katakan jika saya kebetulan diundang di acara-acara FLP setahun setelah saya lengser dari kepengurusan. Bukan tanpa sebab, karena hingga di akhir kepengurusan saya tak juga punya karya untuk dibukukan. Ah, malunya tak terkatakan

"Ketua FLP ndak punya buku? Kasihan deh lu!",


ratap saya dalam hati pada diri sendiri. Meski saat itu mendapat 'back up' langsung dari dosen jurusan sebagai pembina, tak begitu signifikan mempengaruhi ritme goresan demi goresan pena saya untuk menjadi seorang penulis produktif, dengan karya layak jual. Sungguh menyedihkan, balada ketua FLP UM yang gagal. Hingga kemudian kata itu seolah menguap menjadi katarsis atas cita yang melangit harap menjadi seorang penulis terkenal.

Namun, setelah satu dasawarsa saya lewati, entah mengapa Allah skenariokan lagi untuk berada dalam barisan para pejuang pena ini. Bermula dari ide untuk menggagas sebuah komunitas pecinta sastra di kota Pisang, Lumajang. Ide ini kemudian kami (saya yang pernah punya pengalaman di FLP dan beberapa teman yang aktif dalam forum majelis pekanan) realisasikan dalam bentuk kegiatan diskusi sastra bertajuk bincang sastra dengan memilih satu di antara sekian novel 'best seller' milik mbak Asma Nadia yang diharapkan dapat menarik kehadiran para pecinta sastra di Lumajang. Jadilah, novel Cinta di Ujung Sajadah menjadi bahan bincang sastra kami malam itu. Seru, lucu, sekaligus menjadi awal perkenalan kami dengan para peserta yang hadir saat itu yang otomatis juga didaulat menjadi pengurus dari keluarga besar FLP Cabang Lumajang.

Dari pertemuan itu, berkumpul sepuluh orang yang mayoritas perempuan. Kami beharap pertemuan ini tak hanya menjadi ajang silaturahim saja, tetapi lebih dari itu, akan menjadi sebuah 'embrio' terbentuknya Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Lumajang. Dan, alhamdulillah harapan itu terwujud, hingga di penghujung bulan September yang lalu FLP Cabang Lumajang lahir. Dan, lagi-lagi Allah skenariokan saya menahkodahi bahtera organisasi ini lewat 'penunjukan' secara aklamasi bersama sepuluh awak pengurus yang terbagi dalam bidang-bidang, alasannya sederhana hanya karena saya punya 'sedikit' bekal, yakni pernah menjadi ketua yang 'gagal'. Hahahaha...

Membersamai FLP membuat saya semakin bersyukur atas skenario Allah yang maha indah. Bahkan, hingga saat ini lidah saya seakan masih kelu, tak sanggup mengeja makna demi makna atas limpahan nikmat berupa kesempatan berada dalam barisan pejuang pena di sisa usia saya yang tak lagi muda. Berharap beroleh kemanfaatan yang barokah untuk bekal pulang nanti.

FLP yang saya kenal memang beda. Beda, karena di sini saya tak hanya dibekali untuk sekedar menjadi penulis yang produktif, terkenal, dan penghasil karya-karya besar. Tetapi juga dibekali banyak nilai plus yang yang lain.

Plus dakwah, plus kerja sama, plus saudara, dan plus-plus yang lain, hingga kadang FLP diplesetkan menjadi singkatan dari Forum Lingkar Plus.


Heheheh, serunya ini nih yang bikin selalu rindu menggebu tak ada duanya.

Aktifitas menulis dan berdakwah di FLP tak bisa dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Menulis, bagi saya bukan hanya kegiatan menuangkan ide, tetapi keselarasan antara pikir dan hati yang saling menerjemahkan. Karenanya, di antara keduanya dibutuhkan harmoni. Sementara harmoni ini tercipta dari pena-pena mujahid/ah sebagai wujud ekspresi kejujuran jiwa hingga menghasilkan goresan bermakna dari tinta-tinta cinta yang mengejawantahkannya. Hanya di sini, di Forum Lingkar Pena inilah saya temukan definisi tentang menulis yang berbeda. Lewat tinta cinta yang harmonis ternyata akan menghasilkan tulisan yang tak hanya mencerahkan tetapi akan menjadi perantara bagi jiwa-jiwa yang haus akan pencarian pada cintaNya yang sempurna. Tak berlebihan jika kemudian untuk kesekian kalinya saya harus jujur pada hati nurani saya, dan saya katakan kepadanya (FLP) bahwa ah... "Saya sunguh jatuh cinta".

Cerpen ini dimuat pada Antologi Kisah Inspiratif FLP Jawa Timur: Istana Yang Dibangun Dari Kata-Kata (2016. Sidoarjo: Syams Media).
Tentang Forum Lingkar Pena. 

Oleh: Dyah Rahmawati 


"Ukuran jilbabnya sudah syar'i, tapi kok tonjolan di kepalanya sebesar mangkuk bakso? Pasti ngajinya di televisi, meniru artis-artis paling...hahaha".

Itu adalah isi sebuah status seseorang yang sempat mampir di beranda facebook ku beberapa pekan lalu. Membacanya membuat saraf motorikku otomatis mengarahkan telunjukku menyentuh kolom komentar. Baru empat huruf ku ketik, urung kulanjutkan, sadar kalau aku sejatinya tak kenal dengan si pemilik status itu, yang entah sejak kapan kami menjadi teman, atau mungkin teman dari temanku.

Yang jelas alasanku sederhana, yaitu mencegah perdebatan yang mungkin muncul setelah komentarku. Karena aku memang kurang sependapat dengan caranya menyampaikan sebuah kebenaran. Sebab kalau dilihat dari statusnya, sepertinya si pemilik status itu adalah orang yang paham tentang ilmu berpakaian muslimah. Pun aku tidak sependapat. Dan lagi, pastilah dia juga seorang penuntut ilmu. Kendatipun aku menyadari bahwa seorang penuntut ilmu juga manusia, yang kadang bisa sakit.

Meski seringnya, para penuntut ilmu ini meremehkan penyakit yang mungkin bisa saja menjangkitinya. Yaitu, menggebu-gebu terhadap orang lain, tapi bersantai-santai terhadap diri sendiri.


Disepakati atau tidak, sebuah kebenaran akan lebih cepat sampai dengan contoh aksi langsung, didukung dalil yang kuat, serta kalimat yang lugas alias tidak ambigu. Bukan dengan sindiran permanen yang di arahkan pada satu orang tapi berharap representatif.

Jika tidak, alih-alih nasehat itu sampai kepada sasaran, malah meleset, nyaris mubadzir. Kalau saja Alloh Azza wa Jalla tidak menghendaki kebaikan, antara si penyampai dan sasarannya, niscaya tidak akan mengena sama sekali.

Ternyata melalui sebuah status di facebook, aku jadi sempat memikirkan banyak hal. Yang akhirnya membawaku sampai pada kesimpulan. Bahwa jika kita memang berniat untuk menyampaikan sebuah kebenaran kepada seseorang, dekati saja dia dengan ilmu, karena mungkin dia memang benar-benar tidak tahu. Bukan dengan lemparan batu. Karena jika batu itu mengenainya, dia akan lemparkan kembali batunya, jika tidak mengenainya, dia tidak akan menghampiri batu itu.

Sebab, disadari atau tidak, gaya busana muslimah zaman sekarang cukup mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Islam. Banyak muslimah mulai 'percaya diri' menutup aurat, baik dengan ilmu atau tidak. Maka tugas penuntut ilmu adalah menyampaikan yang haq dan esensial dari itu.

Menyadari hal ini, hadirnya FLP Lumajang bisa menjadi jembatan bagi para penuntut ilmu untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik,lebih arif, ramah tapi tegas, dan tidak menyakiti. Dengan kata lain, FLP dan sebuah status di beranda facebookku ku anggap sebagai hadiah menarik di penghujung tahun 2015. Dan aku merasa tak perlu menunda untuk segera bergabung dengan serius, jika aku masih ingin kebagian peran dalam berebut kebaikan. Karena diam tanpa menyampaikan kebenaran yang sudah kita ketahui, bukanlah sebuah pilihan.
Uniknya Pejuang Lingkar Pena (Antologi FLP Jatim). 

Oleh: S. Hadi Wasito 


Diriku tertodong dalam forum lingkaran perempuan yang semakin memacu adrenalinku untuk bergerak maju memungut ilmu di antara pejuang mutiara pena. Awalnya aku tak tahu apa itu Forum Lingkar Pena, sempat kukira hanya semacam sebuah fans club untuk penggemar buku-buku Mbak Asma Nadia, sampai suatu ketika aku diminta bantuan seorang teman untuk membuatkan desain broadcast acara Bincang Sastra dan Bedah Buku bertajuk "Cinta di Ujung Sajadah", Saya juga diundang untuk menghadirinya.

Aku sempat merasa minder karena belum ada yang kukenal satu pun, apalagi aku merasa sebagai satu-satunya penyandang disabilitas di antara mereka, bahkan untuk jalan pun aku harus dipapah dengan bantuan orang lain,apalagi saat pertama menghadiri acara tersebut saya adalah lelaki satu satunya yang duduk di antara Forum lingkaran perempuan tersebut. Dan beberapa menit kemudian datang dua sejoli sahabat lelaki yang memecahkan kerikuhanku dengan candaan segarnya. Perasaan minder itu lambat laun runtuh karena sambutan hangat dan ramah dari sahabat-sahabat Forum Lingkar Pena lainnya. Bagiku saat itu, Forum Lingkar Pena adalah rumah perubahan dimana menulis bukan sekedar luapan curhatan, namun percikan pencerahan.

Kusadari semua karena rahmat dan skenario Allah yang telah memperkenalkan Aku di sebuah komunitas yang sungguh berbeda ini. Di sini Aku menemukan sesuatu yang belum pernah aku temukan dalam komunitas lainnya, kehangatan yang akhirnya mempererat hubungan kekeluargaan, berbagi ilmu, hikmah dan pencerahan sesama anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lumajang. Aku selalu bersyukur padaNya karena telah memberikan kesempatan padaku untuk belajar bersama rekan rekan FLP, pun aku sadari tidak ada sebuah kebetulan dalam hidup ini, semua pasti sudah di atur oleh-Nya, momentum dimana Allah mempertemukanku dengan sahabat-sahabat baru yang hebat, untuk belajar dari mutiara-mutiara pejuang pena yang menginspirasi peradaban.

FLP Lumajang dipelopori oleh Bunda Novi bersama beberapa kawannya. Kupikir plesetan kepanjangan dari FLP itu Forum Lingkar Perempuan memang ada benarnya. Saat pertama kali masuk FLP, dari sekitar dua puluh anggota, mayoritas terdiri dari kaum hawa, hanya ada empat orang ikhwan. Mayoritas berasal dari majelis kajian dakwah remaja yang diasuh oleh Bunda Novi sendiri.

Ada juga beberapa yang mempunyai latar belakang berbeda dan awam sastra, termasuk aku sendiri, jujur aku merasa beruntung berada dalam lingkaran pejuang mutiara pena yang semakin mengasah kepekaanku untuk menulis. Aku terkesan dan terinspirasi saat pertama kali pembentukan kepengurusan FLP Lumajang, Bunda Novi adalah sosok penggerak yang bisa dibilang imut dan cemungud alias semangat, meski dengan kepadatan jadwal mengajar tarbiyahnya, bahkan kuyakin tak bisa tidur nyeyak serta kerapkali lembur sendirian ketika tahu ada kerjaan yang belum selesai.

Ada pula Mbak Vita, seorang penyiar juga guru dengan suara yang renyah dan ramah, selalu lincah dalam berpikir, selalu tanggap dalam mengatasi masalah dengan kecerdasan dan kesabarannya. Mbak Yuni ibu guru matematika yang bersedia menjadi sekretaris yang lembut gemulai, dengan kecantikan yang cetar membadai selalu komitmen dengan kewajibannya dalam surat-menyurat, sekaligus seorang admin yang juga selalu siap membantu rekan-rekannya saat menemui kesulitan. Lalu ada Mbak Dwi, ibu dosen yang tenang dalam berbicara dan mengambil keputusan, di FLP Lumajang berwenang sebagai bendahara. Mbak Desty, seorang yang terkesan pendiam, namun di balik tangan dinginnya begitu lihai dalam menulis cerpen yang romantis dan menginspirasi. Mas Romy, wirausahawan tangguh yang selalu siap sedia saat diminta bantuan meski amanahnya menumpuk sebagai tim kaderisasi. Mas Faza, seorang pebisnis dengan ketampanan dan gaul yang tak sungkan dalam memberi saran, kritik dan ide cemerlang.

Hey! Aku sendiri juga ditodong Bunda Novi untuk memegang kendali media, padahal untuk sekedar mengetik saja aku susah butuh berjam jam hanya untuk menulis beberapa paragraf, apalagi menciptakan desain-desain grafis dengan ruas-ruas jariku yang terasa sakit seperti terlilit.


Tapi, bagiku itu adalah hadiah, ya, aku menerima anugerah itu! Aku senang masih ada yang mau menganggapku 'ada', bukan hanya sekedar obyek empati semata, namun juga selayaknya manusia yang bisa berbuat, bisa bertindak dan bekerja. Aku tak mau sia-siakan kepercayaan itu, Aku berusaha memberikan manfaat yang terbaik bagi orang lain, tentunya dengan segala keterbatasanku.

Kawan-kawan di FLP Lumajang, merekalah yang senantiasa memberiku semangat dan dukungan, berbalut doa yang tulus serta pencerahan. Selang berapa minggu kemudian, satu persatu anggota FLP Lumajang bertambah, ada Mbak Indah, mahasiswi dan aktivis dakwah yang lihai berpuisi. Mas Ferdy dan Mbak Asrul, pasangan muda romantis yang selalu kompak merangkai prosa. Dokter Dinda yang multi talenta dengan sajak sajak puisinya yang mendayu dayu menyentuh kalbu, dokter sekaligus instruktur pencak silat, penari, beliau juga aktivis dakwah yang sering mengisi kajian di radio. FLP Lumajang serasa lebih hidup dan berwarna, disusul kawan-kawan lain dari kalangan pelajar, mahasiswa dan umum.

FLP adalah komunitas yang kuanggap sebagai pencerah, meski merupakan komunitas yang belum lama aku ikuti, hanya sekitar tiga bulan lalu. Dari sekian banyak komunitas, FLP menjadi salah satu bagian yang merubah, mencerahkan pemikiran, juga hati. Di sini aku bukan sekedar belajar berorganisasi semata, tapi juga belajar bagaimana bersinergi dengan sesama anggota, dengan latar belakang yang berbeda, untuk mewujudkan perubahan lewat tulisan dan menginspirasi peradaban.

FLP Lumajang; Berkarya, bermakna dan menginspirasi.


Cerpen ini dimuat pada Antologi Kisah Inspiratif FLP Jawa Timur: Istana Yang Dibangun Dari Kata-Kata (2016. Sidoarjo: Syams Media).
Jodoh yang Tertunda (Antologi FLP Jatim). 

Oleh: Asrul Chasanah 


Sembari melepas lelah di siang yang terik kala itu, seseorang yang bergelar pahlawan di hatiku membuka percakapan ringan. "Katanya pengen bisa nulis Dind?" Dinda adalah sapaan sayangnya terhadapku. "Ini ada acara bedah sastra dan ngobrol bareng kepengurusan Forum Lingkar Pena Lumajang." lanjutnya sambil menunjukkan e-pamflet di grup Fb Lumajang Bergerak. "Deg". Sejenak jantungku berdegup mendengar ia menyebut-nyebut FLP.

Informasi yang diberikan suami membawaku kembali ke peristiwa yang terjadi kurang lebih tiga tahun yang lalu di sebuah kota yang terkenal dengan kesenian Reog nya, Ponorogo. Kala itu, pernah ada sebuah kisah yang membuat lilin impianku menjadi seorang penulis semakin menyala-nyala. Tepatnya setelah membaca ebook karangan pendiri FLP, mbak Helvy Tiana Rosa yang berjudul "Ketika Mas Gagah Pergi". Kemudian untuk lebih mendekatkan diri pada impian, aku berusaha mencari informasi ke beberapa sumber terpercaya terkait forum yang membesarkan nama pendirinya tersebut. Namun ternyata FLP di kota Ponorogo sedang mengalami mati suri, hingga akhirnya aku terpaksa memutuskan untuk mundur teratur melupakan keinginanku itu begitu saja.

"Hey!", ucap suami sambil menepukkan tanggannya di bahuku sehingga membuyarkan lamunanku. "He he, iya Nda", balasku dengan sumringah. "Duh senangnya, akhirnya bertemu jodoh yang tertunda", batinku kala itu sambil mencatat dengan antusias contact person yang tertera di brosurnya, yaitu Bunda Novi. Setelah menghubungi beliau dan mengetahui beberapa informasi melalui pesan singkat via handphone, aku merasa mendapatkan lampu hijau. Dengan nada gembira aku segera memberitahukan hal tersebut pada suami terkasih dan menunggu tibanya hari H pertemuanku dengan Forum Lingkar Pena.

Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya di depan mata, 12 September 2015. Ya, hari itu adalah hari dilaksanakannya bedah sastra Novel karya Asma Nadia oleh FLP Lumajang yang dilanjutkan dengan ngobrol bareng kepengurusan forum tersebut. Membayangkan bertemu dan berdiskusi dengan pejuang-pejuang pena yang sudah memiliki berjuta jam terbang, sebagai seorang yang baru menginjakkan kaki di tanah Lumajang ini sempat terbesit perasaan kurang percaya diri. Untungnya berbagai pikiran positif mampu mengalahkan rasa itu. Meski akhirnya aku kembali menelan ludah kekecewaan karena lagi-lagi belum berjodoh. Aku harus menghadiri agenda pembubaran kepanitiaan PHBN Kemerdekaan RI lingkungan desa di waktu yang sama.

Selang sekitar sebulan lebih tiba-tiba aku teringat kembali tentang Forum Lingkar Pena. Secara spontan aku mengirim pesan kepada bunda Novi via watshapp dan menyatakan bahwa ingin sekali bergabung menjadi anggota FLP Lumajang dan dibimbing untuk belajar melek sastra. Awalnya beliau menyarankan agar aku mengikuti agenda launchingnya FLP, kemudian di tengah-tangah percakapan kami, beliau menyuruhku untuk datang ke rumahnya dalam rangka penyusunan program kerja forum tersebut. Meskipun merasa belum siap tetapi aku menyambut undangan tersebut dengan senang hati. Aku sebagai seorang yang buta kesastraan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan.

Alhamdulillah, Allah telah memudahkan langkah kaki ini sehingga di hari yang diagendakan aku dapat menghadiri forum rapat kerja FLP Lumajang. Sesampainya di rumah yang penuh dengan tumpukan buku yang tertata rapi, aku disambut dengan berjuta kehangatan oleh Bunda Novi sebagai pemilik rumah dan beberapa pengurus FLP Lumajang. Tempat dan suasana yang masih asing bagiku ternyata tidak menjadi penghalang untuk menjalin keakraban. Di tengah-tengah acara diskusi selalu saja ada yang bisa mencairkan kebekuan diantara kami, sehingga seiring tersusunnya program kerja suasana kekeluargaan juga terbina.

Setelah penyusunan program kerja berakhir, aku yang diamanahi membantu divisi kaderisasi masih merasa sedikit bingung dan canggung karena belum memiliki pengalaman di bidang ini sebelumnya.

Namun dalam kecanggunganku tersebut, aku merasa optimis bahwa dengan arahan dan binaan dari segenap pengurus yang lain Insyaallah program kerja yang dicita-citakan dapat terealisasi.


Untuk merealisasikan program kerja, FLP Lumajang membutuhkan sebuah legalitas. Dalam hal ini, Forum Lingkar Pena Lumajang mengadakan acara pengukuhan yang bertepatan dengan adanya turba dari FLP wilayah Jawa Timur dan disertai dengan turunnya SK kepengurusan. Saat prosesi pengukuhan sebenarnya aku merasa sedikit cemas karena persiapan kami yang mendadak dan kurang maksimal. Namun karena kelihaian panitia, alhamdulillah secara umum semua berjalan dengan lancar dan FLP Lumajang telah sah menjadi salah satu bagian dari FLP wilayah Jawa Timur.

Di usia FLP Lumajang yang baru seumur jagung ini sedikit demi sedikit aku mulai belajar terkait seluk beluk kepenulisan, meskipun sampai sekarang perasaan ragu dan kurang percaya diri masih menghantui ketika akan mulai menuangkan ide dan menggoreskan tinta. Namun melalui para pengurusnya yang memiliki berbagai latar belakang berbeda aku telah belajar banyak hal yang lain dari mereka. Bunda Novi sering menyebutnya "sinau urip". Sungguh bersyukur dipertemukan dengan orang-orang hebat dan inspiratif seperti mereka. Mereka tidak hanya pandai bersajak dan beretorika namun juga senang menularkan prinsip-prinsip kebaikan. Mungkin pertemuan dengan para pejuang pena Kota Pisang merupakan salah satu alasan mengapa Allah memilihkanku tempat ini untuk menua dan mengabdikan diri. Pepatah bijak mengatakan bahwa pertemuan dengan seseorang itu tidak ada yang kebetulan, semua memiliki porsinya masing-masing untuk mengajari kita sesuatu.

Cerpen ini dimuat pada Antologi Kisah Inspiratif FLP Jawa Timur: Istana Yang Dibangun Dari Kata-Kata (2016. Sidoarjo: Syams Media).
Menulislah, Jangan Hanya Bergerak-Gerak (Antologi FLP Jatim). 

Oleh: Dnadyaksa Tirtapavitra 


"Dek, menurut Mas Hadi, Dek Dana mau gabung FLP, serius?"

Sepotong pesan pendek tadi sore di layanan ngobrol online itu membuatku tersentak, aku melihatnya sekali lagi sambil setengah menahan senyum, haru sekaligus gembira. Ya, menurutku itu pesan termanis di awal bulan Desember ini. Aku sempat melihatnya sekali lagi untuk memastikan pesan itu benar-benar datang dari sosok yang selama ini kukagumi, di sela kepadatan aktifitasnya tetap meluangkan waktunya untuk menginspirasi orang lain, Bunda Novi.

Sudah cukup lama aku 'sekedar' mengenal Forum Lingkar Pena, tepatnya sejak aku belajar di Yogyakarta. Sering nongkrong di kantin kampus sastra, mengenal beberapa kawan yang juga aktif menulis, beberapa tergabung dalam lingkar-lingkar penulis. Ada yang bekerja di penerbitan buku sedari kuliah, beberapa bahkan mendirikan penerbitan sendiri. Seringnya ngobrol dengan mereka saat itu membuatku menikmati rehat sejenak dan melupakan hiruk pikuk kota Jogja.

Entahlah, aku selalu suka berbagi cerita dengan mereka, mereka yang sekedar menulis sebagai hobi ataupun berprofesi sebagai penulis. Menurutku, seorang penulis adalah sosok-sosok multi disiplin ilmu, dari mereka aku bisa mendengar dan berbagi beragam pengetahuan, berbagi ide, hingga adu mulut sekalipun. Ditambah lagi sejak kecil aku suka corat-coret di buku harian, Ibuku sendiri yang mengajarkanku untuk rajin menulis,

Ibuku pula yang pertama kali menulis buku harianku sejak aku masih dalam kandungan, sesuatu yang mungkin kurang lazim dilakukan di zaman sekarang.


Hijrah dari Yogyakarta ke Malang, aktifitasku juga tak jauh dari dunia buku, aku sendiri tak yakin apa memang ketidaksengajaan itu yang membuat salah satu impian masa kecilku untuk menjadi penulis kembali berputar di benakku. Sampai suatu saat di Malang ada momen dimana aku harus bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena Malang, saat itu mereka mengadakan bedah novel sekaligus lomba penulisan cerita pendek. FLP yang awalnya kukira hanya berisi anak-anak kutu buku yang enggan berkomunikasi dengan orang baru, ternyata tak sedemikian adanya. Justru dari situ aku menemukan mereka-mereka yang selalu optimis dan bersemangat, aku jadi semakin yakin kalau orang yang suka menulis kebanyakan pasti enak diajak ngobrol.

Aku semakin terhenyak manakala mereka mengumumkan hasil lomba cerpen saat itu juga, pemenangnya seorang remaja tanggung penerima anugerah 'ADHD' dari Allah, seingatku dia masih duduk di bangku SMP saat itu. Yang aku ingat dari awal acara bedah buku anak itu terlihat bersemangat sekali, terlalu bersemangat bahkan sampai berteriak-teriak sendiri layaknya orang kurang waras, beberapa orang yang terganggu memintaku untuk mengusir anak itu, tapi... kuputuskan untuk hanya duduk di sampingnya, sambil memperhatikan gerak-geriknya. Anak itu menarik meski terlihat aneh, aku hanya berpikir dia bukan orang yang berbahaya hingga harus dikeluarkan dari acara. Tapi mata orang-orang yang semakin nanar dengan kelakuannya membuatku harus bertindak, anak itu kuajak berkenalan, kuajak meninggalkan sesi bedah buku, sekedar berjalan-jalan sambil mengobrol.

Makin lama berbicara dengannya membuatku semakin yakin bahwa dia bukan anak biasa, anak itu sangat cerdas, aku ingat dia begitu antusias saat aku membuka obrolan tentang beberapa tulisan Pramoedya Ananta, dengan gamblang dia menceritakan beberapa buku Pram -meski beberapa yang diceritakannya salah- dan aku suka semangatnya berbicara yang berapi-api, sejenak dia berceloteh mengenai keluarganya, tentang orang-orang di sekitar yang seringkali menganggapnya tak waras, tentang teman sekolahnya yang kurang bisa menerimanya sebagai penyandang mental disorder, juga pandangannya mengenai beragam konflik di belahan dunia lain. Kami langsung akrab, dan aku suka itu! Aku seolah menemukan teman baru yang sama sekali berbeda. Dia bercerita bahwa dirinya suka berdiskusi, bahkan seringkali iseng datang di diskusi-diskusi kampus, juga seringkali diusir...

Kami ngobrol cukup lama sampai terdengar suara dari panggung bahwa pengumuman hasil lomba cerpen akan segera diumumkan. Aku mengajaknya kembali ke acara dengan merangkul pundaknya layaknya adik. Dia masih saja berceloteh, yang terus kuiyakan sambil mengangguk dan tertawa, aku menjamin, "Takkan ada yang berani mengusirmu dari situ kalau sama aku, hehe..." dia ikut terkekeh.

Dan hasil lombanya?

Anak itu menjadi juara pertama... ya, anak aneh itu. Di sini aku merasa FLP bukan sekedar komunitas monoton yang itu-itu saja, aku memang tak tahu pasti anak itu anggotanya atau bukan. Tapi saat kukonfirmasikan pada koordinator FLP yang kulihat sangat mengenal anak lelaki itu, dia mengatakan anak itu memang sering ikut pada acara-acara FLP, juga sering menang dalam beberapa kesempatan, beberapa teman FLP bahkan mengaku kagum dengan remaja belasan tahun itu, di mata mereka anak itu sangat cerdas, pola pikirnya yang melompat dan aneh seringkali merepotkan lawan bicaranya yang notabene sudah duduk di bangku kuliah, momen berkenalan dengan anak itu kuanggap sebagai momen manis dalam hidupku, aku ingat bahwa dia sempat berkata padaku,

"Mas nya harus sering nulis mas, nulis apa saja mas, yang penting nulis, toh gak ada ruginya, selama gak merugikan orang lain..."


Aku mengingat kisah ini sambil berlinang air mata, bercampur haru bahagia dengan perasaanku tadi sore saat kuterima pesan pendek dari Bunda Novi. Pesan itu dan sentuhan perkenalan asalku dengan FLP saat di Malang seolah mengingatkanku untuk kembali menulis, meski dengan sederhana. Tentang FLP Lumajang yang masih baru terbentuk, jujur aku sempat merasa tak enak, karena saat awal pembentukan aku hanya berteriak-teriak di media sosial (cheerleader: meminjam sindiran Bunda Novi), tapi aku sendiri tak datang pada jumpa darat pertama itu karena posisiku di luar kota. Di sisi lain, aku juga malu pada temanku Mas Hadi, penyandang disabilitas yang sering kumintai bantuan desain grafis. Dia begitu tekun saat mengerjakan desain, bukan dengan ujung jarinya tapi dengan ruas jarinya, karena keterbatasannya untuk menggerakkan anggota badan layaknya orang lain. Tak hanya itu, keaktifannya menuliskan status-status yang menginspirasi di media sosial juga membuatku tersindir, Mas Hadi yang kukenal sejak hampir sepuluh tahun lalu itu tetap Mas Hadi yang kukenal dulu, yang tak ingin dianggap rendah sebagai penyandang disabilitas, yang selalu menunjukkan bahwa dia bisa berkarya layaknya orang lain, dengan caranya sendiri.

Mas Hadi pernah saat itu kuminta tolong untuk membuat desain e-poster jumpa darat pertama FLP di Lumajang, bahkan kutarik-tarik agar mau sekalian ikut membantu FLP. Tapi, aku sendiri tak ikut terjun di dalamnya, aku hanya bisa menjadi cheerleader, hanya berteriak dan bergerak-gerak di tempat. Aku malu pada diriku sendiri dan mereka, pada penyandang ADHD yang kukenal di Malang, pada Mas Hadi penyandang disabilitas yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa sekedar mengetik 3 paragraf pendek, juga pada Bunda Novi sendiri. Saat kupromosikan adanya FLP Lumajang pada Febri, bu guru muda di Lumajang yang juga sempat bergabung dengan FLP Malang, aku cuma bisa bertanya pada diriku, "Lah kamu kapan, Dan?"

Satu persatu semua kisah itu kurangkai dalam satu keputusan, aku harus bergabung dengan FLP Lumajang! Kalau tidak sekarang kapan lagi? Bukan hanya sekedar ingin terlihat eksis dan 'bergerak-gerak', bukan karena dulu sempat berbincang lama dengan Mbak Asma Nadia sekaligus berfoto bareng, atau karena ingin pamer pada teman wanita lamaku seorang redaktur majalah rohani terkenal. Bukan pula ingin bersaing tradisi menulis dengan bu dosen muda di Malang yang tulisan ilmiahnya sering dirilis pada jurnal ekonomi nasional, tapi aku hanya ingin menemukan kembali cinta lamaku.

Yup! Cinta lamaku!

Pada buku, pada tulisan-tulisan sastra, artikel-artikel ringan, pada sajak-sajak indah yang sedikit lebay, pada guratan pena yang sekarang tergantikan dengan ketikan di layar gadget, juga cinta lamaku untuk 'sekedar' menulis. Karena kurasa hanya tulisan yang membuat rangkaian kisah inspiratif dari orang-orang luar biasa seperti Mas Hadi, yang akan membangkitkan kesadaran pada orang lain untuk terus berkarya.

Menulislah! Jangan hanya bergerak-gerak.


Cerpen ini dimuat pada Antologi Kisah Inspiratif FLP Jawa Timur: Istana Yang Dibangun Dari Kata-Kata (2016. Sidoarjo: Syams Media).
Melukis Pelangi Mata Hati (Antologi FLP Jatim). 

Oleh: Nur Vita Dwi Andri Yani (Vita Aisyah)


Masih memadang layar laptop dan jari jemari lincah menari dalam tuts-tuts keyboard, dengan hati kumulai bercerita seperti biasanya, karena bagiku menulis adalah sahabat paling setia untuk berbagi cerita. Menulis berbagai cerita dalam buku harian mungkin klise untuk selalu kulakukan, kugoreskan penaku di sana berbagi semua cerita serta keluh kesah yang ada. Bagiku menulis adalah dunia yang kucintai tanpa kumengerti mengapa kujatuh cinta padanya, merangkai kata dengan pena sudah mewakili lisanku yang kadang kelu dan tak bisa berkat- kata. Sore yang tak pernah kubayangkangkan sebelumnya. Entah apa yang membuat langkah kakiku melangkah ke sebuah rumah yang belum pernah kukunjungi sebelumnya, memang cukup sulit untuk menemukan rumah tersebut tapi Allah menuntunku dengan penuh kesabaran dan cintaNya.

Kutemukan rumah cantik itu dibalik surau yang tenang. Ada deguban jantung yang tertahan saat kumasuki rumah cantik itu, kulihat barisan buku tertata rapi diruang tamunya. Hatiku berbisik ini adalah potongan mimpiku untuk memiliki rumah dipenuhi buku bacaan yang sampai sekarang belum terlaksanakan namun hikmah lainnya setidaknya aku bisa mulai kembali membaca buku walau dengan bermodalkan "pinjam". Hari demi haripun berlalu, masih dengan setianya laptopku menemaniku bercerita. Entah hanya untuk menulis puisi, diary, membuat cerpen atau melanjutkan novelku yang macet pembuatannya nyaris bertahun tahun karena gagal fokus. Terbersit di hatiku, "Kapan ya novelku ini selesai? walau tak diterbitkan tapi setidaknya bisa kucetak dan jadi koleksi pribadi." Terkadang angan-angan itu menghantuiku, sisi lain hatiku berkata bahwa tak bermanfaat jika semua tulisanku hanya kusimpan dan kubaca sendiri. Dan pada akhirnya pelampiasan menulisku lari pada beranda Facebookku sampai sore yang berbeda itu datang. Sore dimana pembicaraan ringan dengan sang pemilik rumah baca yang seringkali bukunya kupinjam. Pembicaraan itu mengalir begitu saja sampai melahirkan gagasan untuk membuat grup yang menghimpun para sahabat yang suka menulis. Good Idea.

Mulai terbayang lintasan pelangi di otakku yang mungkin bisa jadi cerita tersendiri, mungkin ini salah satu jalan yang Allah kirimkan agar aku mulai menulis lagi dan melanjutkan potongan mimpiku yang belum kunjung selesai kurangkai. Awalnya hanya sebuah grup sederhana di WA yang berisikan teman teman majelis yang suka menulis sampai hadir sebuah berita yang mengatakan bahwa FLP Jatim menyambut hangat jika Lumajang mau membentuk FLP juga. Dari informasi tersebut akhirnya tergagas sebuah bincang sastra disebuah tempat yang dekat dengan alam yang menenangkan dimana langit malam itu tak berbintang namun penuh dengan kerlap kelip lampu layang-layang. Sempat ada rasa pesimis akan ada yang datang ke acara bincang sastra yang mengusung novel mbak Asma Nadia "Cinta Diujung Sajadah" sebagai temanya. Masih teringat bahwa undangan bincang sastra tertera pukul 18.00 wib tapi sampai pukul 19.30 WIB yang datang masih bisa dihitung jari dan itupun sahabat sendiri.

Akhirnya kami yang datang memutuskan memulai perbincangan malam hari ini dengan kesederhanaan yang ada namun tetap terasa hangat di tengah sapaan angin persawahan yang terasa menggigit.


Sampai di ujung pembahasan tentang sosok cinta pada novel "Cinta Diujung Sajadah" yang kemudian memberi pencerahan bagaimana cinta pada orang tua yang harus tetap bermuara indah bagaimanapun keadaan orang tua kita. Dari bincang hangat tersebut yang memang hanya dihadiri beberapa orang yang mayoritas adalah perempuan tak menyurutkan semangat untuk mewujudkan mimpi membuat kepengurusan FLP Lumajang yang pada akhirnya terbentuk secara aklamasi walau saya merasa aklamasi adalah bahasa lain dari "ditodong". Sampai semua berjalan mengalir begitu saja. Pena mengantarkan kami pengurus FLP yang hanya bisa jumpa lewat WA karena kesibukan masing-masing yang tak memungkinkan kopi darat sesering mungkin untuk saling mengenal satu sama lain.

Seringkali terukir senyum bahkan tawa geli saat kubuka dan kubaca rangkaian kata- kata dari sahabat penaku yang baru. Mereka memberiku tawa dan warna yang baru. FLP Lumajang walaupun belum diresmikan dan dikukuhkan setidaknya sudah memberiku saudara baru dan semangat berkarya memberi perubahan lewat pena. Dan saat pengukuhan kepengurusan FLP Lumajang dilaksanakan, yang kutahu hanya satu bahwa aku harus berkarya dan berusaha mewujudkan mimpiku yang tertunda. Bersama mereka, orang - orang hebat dan keren yang slalu bisa berbagi inspirasi dan juga motivasi. Kukatakan pada jariku untuk jangan lelah menari diatas tuts keyboardku karena ladang kebaikan terhampar luas untuk dikerjakan, kukatakan pada penaku agar jangan lelah menari bersama untuk membawa perubahan bukan menari karna terbawa perasaan. hehehehe... Dan FLP Lumajang kubisa berkata kuingin melukis pelangiku yang tak hanya bisa kulihat dan kubaca sendiri namun untuk berbagi dan saling menginspirasi. Dari pena kubisa mengeja dunia, dari pena kubisa menjejah ruang, waktu dan dunia dan dengan pena banyak ladang ibadah yang kuharap bisa jadi amalan yang pahalanya tak pernah putus walau ruh ini sudah terpisah dari jasadnya.

Cerpen ini dimuat pada Antologi Kisah Inspiratif FLP Jawa Timur: Istana Yang Dibangun Dari Kata-Kata (2016. Sidoarjo: Syams Media).