breaking
Gambar tema oleh mskowronek. Diberdayakan oleh Blogger.

menulis untuk peradaban

menulis untuk peradaban

renungan & kontemplasi

renungan & kontemplasi

celoteh anak negeri

celoteh anak negeri

Berguru Pada Jenderal Soedirman

Bagikan

Ilustrasi: Google/Indopos. 

Oleh: Dnadyaksa Tirtapavitra 


Jenderal Besar Raden Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Beliau hanya satu dari segelintir sosok rakyat yang terlahir dari keluarga biasa tapi mampu menjadi tokoh besar di zamannya, lahir di Purbalingga dan mendapat keistimewaan dengan menyandang gelar Raden karena diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi.

Bakat kepemimpinan beliau sudah terlihat dari remaja saat aktif di berbagai kegiatan termasuk kepanduan, beliau juga sangat dihormati karena nafas Keislamannya yang sangat kental mewarnai setiap kegiatan. Soedirman juga dikenal cukup cerdas, tak heran meskipun beliau memutuskan berhenti dari kuliah keguruan, beliau bisa menjadi guru di sekolah dasar Muhammadiyah, sampai menjadi kepala sekolah.

Tahun 1944 Soedirman bergabung menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang merupakan bentukan Jepang, atas prestasinya di PETA, karirnya naik dengan cepat hingga beliau dinaikkan menjadi komandan batalyon di Banyumas. Karir politik yang gemilang, tentunya dengan fasilitas yang cukup memadai dari Jepang tak membuat Soedirman nyaman menjadi kaki penjajah. Bersama rekan-rekannya sesama prajurit, Soedirman melakukan pemberontakan pada Jepang, tentu saja hal itu membuat murka Jepang yang akhirnya memutuskan mengasingkan Soedirman ke Bogor.

Setelah Kemerdekaan RI di tahun 1945, Soedirman mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sebagian besar merupakan bekas tentara PETA, awal pembentukan BKR ini banyak mendapat reaksi kontra di masyarakat terutama di daerah-daerah, banyak laskar dan barisan di daerah yang tidak setuju dengan pembentukan BKR ini sehingga memutuskan mendirikan laskar/barisan sendiri-sendiri. Nama BKR sendiri tak bertahan lama sampai keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Peran Jenderal Soedirman menjadi sangat vital selama Agresi Militer Belanda I dan II, sebagai Panglima Besar TNI beliau tak hanya memegang kendali strategis atas perjuangan melawan Belanda, tapi juga harus menghadapi perlawanan dari dalam pada tahun 1948.

Kondisi yang cukup kritis karena penyakit tuberkulosis tak menyurutkan semangat juangnya untuk bergerilya demi republik ini, dalam keadaan sakit dan ditandu beliau memimpin pergerakan TNI untuk bergerilya melawan Belanda.


Kenangan berkesan bagi Indonesia mengenai Jenderal Soedirman terjadi di Yogyakarta di tahun 1949, saat pasukan Belanda mulai ditarik dari wilayah republik, dimana setelah hampir 7 bulan bergerilya melalui Surakarta, Madiun dan Kediri, beliau bersama beberapa anggota TNI masuk ke Yogyakarta. Dilukiskan ketika Boeng Dirman (Jenderal Soedirman) masuk ke Yogyakarta, kondisi kesehatannya sudah sangat menurun, warga desa menyambut dengan bangga dan haru, sekaligus berebut menggantikan memikul tandu Boeng Dirman. Hal itu menunjukkan sedemikian besar rasa cinta rakyat kepada TNI dan Boeng Dirman, mereka merasakan bahwa TNI dan Boeng Dirman adalah Milik Rakyat.

Dari waktu ke waktu, sejarah telah mencatat kedekatan TNI dengan rakyat. Sekalipun beberapa tahun sesudahnya ada beberapa peristiwa yang menyeret TNI terlibat di dalamnya, hal itu tak lain karena manuver-manuver politik di dalam tubuh TNI sendiri, dimana TNI juga sempat dijadikan alat kekuasaan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan dinasti kepemimpinan. Memang kesemuanya itu secara kasat mata tak mengurangi kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada TNI.

Tapi jika dikaitkan dengan di era sekarang ini, jika boleh sedikit menyinggung beberapa tindak kekerasan di daerah yang meresahkan masyarakat, barangkali perlu dikaji lagi tentang peran intelijen TNI di daerah yang mencakup informasi potensi konflik horisontal di masyarakat, seperti halnya peristiwa pembunuhan tragis aktivis lingkungan Salim Kancil di Lumajang beberapa waktu lalu, selain Kepolisian sebagai pengayom masyarakat sipil, apakah Babinsa (Bintara Pembina Desa) tidak tahu potensi konflik tersebut?

Menilik dari catatan media, korban aktivis lingkungan di Lumajang sebelumnya sempat melaporkan kepada Kepolisian tentang ancaman kepada mereka, apakah selama ini tidak terjalin komunikasi yang baik antara Kepolisian dan TNI? Apakah benar disintegrasi informasi antara intelijen Polri dan TNI mencuatkan persaingan antar intelijen yang berimbas di masyarakat? Disinilah kemanunggalan TNI-Rakyat kembali diuji sekaligus dipertanyakan. Jika mengacu pada sosok Jenderal Soedirman yang rela menderita demi kemerdekaan bangsanya, sudah seharusnya para pewaris kemerdekaan ini menggunakan amanat kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat.

Tentang M Hasyim Azhari

FLP Lumajang bertekat akan mencetak ribuan pejuang pena untuk menuliskan sejarah indah tentang Lumajang, dengan sejuta kelebihan daya tarik dan pesona keindahan pariwisata serta masyarakatnya yang ramah.
«
Selanjutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Tinggalkan pesan atau komentar