breaking
Gambar tema oleh mskowronek. Diberdayakan oleh Blogger.

menulis untuk peradaban

menulis untuk peradaban

renungan & kontemplasi

renungan & kontemplasi

celoteh anak negeri

celoteh anak negeri

Kasih di Bulan Februari

Bagikan

Ilustrasi: Hedonisme - Islamic Worldview

Oleh: Dnadyaksa Tirtapavitra 


Handphoneku berbunyi saat ada pesan pendek di messenger, setengah malas kubuka pesan dari seorang teman di Malang yang sering menemaniku dalam setiap kesempatan ngopi atau sekedar mengisi jam luang.

"Kmu gk ada kenalan yg beraktifitas di yayasan2 sosial gitu bro?"

Sekonyong-konyong aku sekedar membalas, " Knp bro?"

"Aku pgn beraktifitas di kegiatan2 sosial gitu bro"

Aku seakan mau jatuh dari kursiku melihat pesan itu, secarik pesan yang terdengar biasa bagi sebagian orang, tapi bagiku itu adalah ketidakwajaran pada diri teman yang kukenal bertahun-tahun ini.

Lennon -sebut saja begitu- aku mengenalnya sejak medio 2007-an di Jogja, saat itu dia masih bekerja di sebuah perusahaan pialang yang cukup ternama di Jogja, dimana para senior di perusahaan itu sering mengajakku nongkrong bareng di suatu tempat, entah itu karaoke, dugem dan lain sebagainya. Tak heran karena aku sendiri juga pernah menjadi bagian dari mereka, beberapa perusahaan pialang yang baru berdiri di saat itu banyak diback-up oleh timku di perusahaan yang lama.

Saat itu aku mengenal si Lennon ini sebagai orang yang unik, dia supel, selera musiknya beda dengan kebanyakan orang di sekelilingku, kami langsung akrab karena sama-sama suka rock and roll dan classic rock, seringkali kami bersama geng kami, selepas kerja copot dasi segera hangout di tempat-tempat hiburan malam, karaoke atau bahkan sekedar ngopi sambil ngobrol segala hal, dari soal ngegosipin teman sampai curhat soal keluarga. Kalau ingat saat itu, aku jadi tersenyum geli melihat orang-orang dewasa yang saling curhat sampai bercanda dan aku yang termuda di antara mereka, lucu juga kadang aku menjadi sok bijak dengan sok nasihatin mereka saat itu.

Si Lennon ini seperti karakter orang-orang misterius di Jogja pada umumnya, meski sepeda motornya hanya bebek standar yang biasa saja yang jalannya kadang geol-geol, saldo di atm-nya selalu menjadi yang terdepan di antara teman satu tongkrongan, tak heran jika teman-teman selalu menjulukinya atm berjalan, bahkan teman-teman yang kelihatan parlente naik mobil sekalipun selalu kalah dengan saldo di atm-nya. Ini yang membuat si Lennon cenderung disungkani oleh mereka, meskipun terlahir dari keluarga berada, dalam pergaulan dan gaya hidup dia cenderung standar saja, memang kami sempat addict dengan glamornya nightlife di Jogja, keluar masuk tempat hiburan hampir seminggu sekali dengan sekali budget tiga jutaan saat itu, tapi pada akhirnya kami jenuh.

Saat aku hijrah ke Malang, si Lennon yang sebelumnya juga sudah stay di Malanglah yang menolongku dengan memberikan tempat berteduh, setelah lama tak bertemu karena dia sempat menghilang di Semarang, kami bertemu lagi di Malang. Sebelum dibelikan rumah oleh orangtuanya di pemukiman elit di kota Malang ini, saat itu dia masih menempati rumah saudaranya yang memang kosong, rumah milik perwira polisi itu menjadi sandaranku selama awal tinggal di Malang.

Si Lennon ini sendiri dulu sempat menjadi bankir di sebuah institusi perbankan yang cukup terkenal, pernah juga jadi bankir di Surabaya sebelum akhirnya kembali lagi di Surabaya, aktifitas bankir yang menjemukan sekaligus gaya hidup yang seringkali hedonis membuatnya tak pernah cocok di lingkungan tersebut, bahkan pernah dia sampai bermimpi buruk dan beberapa hari kemudian pingsan karena depresi yang berlebihan. Si Lennon resign dan memutuskan menjadi agen asuransi, karena menurutnya lingkungan agen asuransi masih lebih bersahabat dan manusiawi, daripada di lingkungan perbankan.

Dengan keputusan itu tentu berdampak pada siklus penghasilan bulanan dia, makan mie instan atau masak nasi di rumah sudah menjadi barang biasa bagi kami. Nongkrong pun sekedar ngopi di warung kopi biasa, selain memang kondisiku dan dia yang sama-sama berkantong cekak, satu hal yang pernah kami sepakati dalam menyikapi gaya hidup, bahwa sebanyak apapun yang kau habiskan untuk gaya hidup tak akan pernah ada habisnya, toh kami juga sama-sama pernah menjadi nakal semasa di Jogja.

Sebenarnya selama di Malang aku juga sering mengajaknya beraktifitas sosial atau sekedar ikut kegiatan komunitas, tapi saat itu si Lennon terkesan ogah-ogahan dan acuh tak acuh, dapat dipahami olehku karena meskipun keadaannya beda dengan dulu, masih terselip sedikit rasa gengsi atau tak nyaman jika berinteraksi dengan golongan akar rumput tertentu menurut dia.

Si Lennon ini orangnya cenderung apatis, apatis terhadap pemerintahan, terhadap sistem di negara ini, juga terhadap mindset orang Indonesia pada umumnya, misalnya tentang kekurangdisiplinan masyarakat, tentang pola masyarakat yang konsumtif sampai berbagai kebijakan pemerintah terutama di sektor ekonomi yang dinilai kurang tepat, meskipun kami sering berdebat soal pemerintah dan mindset orang,

dia lebih pada tipe orang yang apatis parah menurutku, hanya mau berkomentar tapi jarang memberi pendapat yang sifatnya solutif.


Itulah yang membuatku heran saat dia memberiku pesan singkat di tengah hujan gerimis malam ini, bagiku itu bukan sosok Lennon yang kukenal, sosok yang selama ini seringkali hanya menggerutu dan bersikap acuh tak acuh pada realitas sekeliling. Yang jelas, aku tersentuh dengan bunyi pesan itu, bahkan dari gaya bahasa di pesannya itu, aku dapat menangkap ketulusan hatinya, meskipun secara tersirat barangkali bisa kusimpulkan, mungkin dia lelah, atau bahkan sudah jenuh dengan sikap apatisnya sendiri.

Tentang M Hasyim Azhari

FLP Lumajang bertekat akan mencetak ribuan pejuang pena untuk menuliskan sejarah indah tentang Lumajang, dengan sejuta kelebihan daya tarik dan pesona keindahan pariwisata serta masyarakatnya yang ramah.
«
Selanjutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Tinggalkan pesan atau komentar