breaking
Gambar tema oleh mskowronek. Diberdayakan oleh Blogger.

menulis untuk peradaban

menulis untuk peradaban

renungan & kontemplasi

renungan & kontemplasi

celoteh anak negeri

celoteh anak negeri

Dinasty Arizona

Bagikan

Ilustrasi: Hadi Wasito. 

Oleh: Vita Aisyah 


Sore yang indah dimana barisan awan merah mulai menyapa, orang bilang kumpulan awan merah di senja hari disebut candi langit. Sejatinya barisan awan merah menjingga itu adalah awan yang terkena pantulan cahaya matahari yang akan segera pulang ke peraduan di ufuk barat. Hembusan angin tiba-tiba menyapa manja membawa aroma tanah yang telah sekian lama gersang karena sang hujan tak kunjung datang. Namun sore ini, aroma tanah surga itu kembali menari-nari dalam indera penciumanku, seolah aroma inilah yang telah lama kurindu. Semilir angin itu menyapa lembut ujung jilbabku yang seolah berkata, "Ayo kita menari dalam hujan!!" dan aku hanya tersenyum dengan imagiku. Seolah tiap tetesan hujan itu benar-benar bicara padaku.

Entah ada sihir apa yang ada dalam hujan, seolah dia selalu mampu untuk mengajakku menari bebas, membiarkan tubuhku basah dalam pelukannya, hujan selalu mampu membuatku tak peduli dengan berpasang-pasang mata yang melihatku akrab dengannya. Mereka seolah melihatku layaknya anak kecil yang menemukan mainan paling mengasyikkan sepanjang sejarah. Aku benar-benar tersihir oleh hujan di sore hari ini, dia mampu menarik tanganku untuk menari bersama.

Aku bangkit dari tempat duduk, kuletakkan novel yang sedari tadi asyik kubaca dan mulai berlari menginjakkan kaki pada tanah yang telah menyatu riang dengan air. Aku berjingkat-jingkat sesaat bergurau dengan air yang telah berpelukan erat dengan tanah, kurentangkan tangan dan pejamkan mata sesaat. Kurasakan bagaimana hujan ini benar-benar memeluk dengan manja. Entah mengapa resonansi hujan selalu membuat hati dan otakku lebih terasa tenang sampai teriakan itu membuyarkan imajinasiku dengan sang hujan.

"Diiiiiiinnnaaaaaaa.... kamu tuh kebiasaan ya kalau hujan pasti bawaannya pengen hujan-hujanan! Kayak anak kecil saja!!" omelan Salsa menyerbuku.

Ini adalah sahabatku Salsa, nama lengkapnya adalah Bening Salsabilah. Kami bersahabat sejak semester satu di kampus tercinta, Universitas Brawijaya Malang. Kami bersahabat sejak Allah mempertemukan kami untuk tinggal bersama dalam kos-kosan sederhana ini, dan tak terasa sudah enam semester terlewati bersama. Dia sahabatku yang paling perhatian plus paling bawel, seringkali kumerasa dia menggantikan peran ibuku yang tak pernah bosan untuk mengingatkanku ini dan itu. Wajah manisnya dengan lesung pipi yang memikat membuat setiap orang yang memandang tentu akan terkesan. Postur tubuh yang tidak terlalu tinggi namun berisi juga menambah daya tariknya. Meskipun Salsa agak sedikit bawel tapi aku menyayanginya. Terkadang saat dia sedang mengomeliku dari a sampai z, pikiran jahilku selalu bermain. Kubayangkan Salsa yang sedang mengomeliku itu tak ubahnya seperti seekor kelinci yang lucu dan manis yang takkan berhenti mengunyah wortel yang dia makan kecuali wortelnya telah habis terlahap.

"Dina, sudah tau kalau ini musim hujan kok kamu malah main hujan hujanan sih? Nanti kalau kamu sakit aku mah ogah nemenin. Males kalau ketularan sakit."

"Hehehehe iya iya Salsa sayang, walaupun kamu bilang males nemenin aku kalau lagi sakit tapi ntar kalau aku beneran sakit berani deh, taruhan masak mie instan seminggu! Kamu pasti yang nemenin aku dengan setia..." senyumku terkembang.

"Ah kamu mah curang Din! Lagian ngapain sih hujan hujanan? Kayak anak kecil aja!! Kurang kerjaan apa??"

"Kan air hujan itu bisa jadi media ruhyah dari alam, jadi ya kumanfaatin dong. Kali aja emang ini badan butuh diruhyah."

"Iya tapikan..." belum sempat Salsa meneruskan omelannya, aku sudah lebih dulu memeluknya dengan erat yang membuat badan Salsa juga ikut basah karena air hujan, tentu saja hal ini membuat Salsa gemas sampai berteriak memanggil namaku. Tapi bukan Dina namanya kalau tak bisa jahil pada Salsa ataupun teman-teman lainnya. Kubiarkan Salsa mengomel karena bajunya turut basah sedangkan aku sudah lari menuju kamar mandi, tentu saja satu guratan senyum tanda kemenangan tergambar di wajahku.

*****

Hujan masih saja memeluk manja kota apel ini. Pagi ini dengan membawa payung, kususuri jalanan menuju kampus tercinta. Kampusku adalah kampus yang memiliki waktu pemberhentian gerbang paling lama dan tentu saja siapapun yang hendak keluar masuk ke sana harus memiliki kesabaran ekstra. Kususuri lorong menuju perpustakaan umum namun dering handphone yang menjerit-jerit menghentikan langkahku.

"Din, apa sudah datang di kampus? Kalau iya bisa lekas ke masjid yang paling dekat dari Fakultas Ekonomi." Sara.

Pesan dari Sara hanya kubaca, namun sejurus kemudian membuat langkah kaki ini melesat ke tempat yang Sara mau, jujur saja dalam hati ada pertanyaan mengapa Sara memintaku cepat ke masjid dekat Fakultas Ekonomi, sedangkan seingatku hari ini tak ada majelis atau rapat yang telah diagendakan. Aku tak butuh waktu terlalu lama untuk sampai di tempat Sara menunggu, dan langsung saja kutemui sahabatku itu.

"Assalamualaikum Sara, ada apa kok kamu minta aku cepat datang kemari?"

"Wa'alaikumsalam, kamu sudah baca mading kampus hari ini Dina?"

"Mading kampus yang mana?"

"Dekat perpustakaan Fakultas Ekonomi, kamu tau siapa yang menulis puisi Cinta Segenggam Pasir ?"

"Iya aku sudah baca, memang siapa Ra?"

"Di puisi itu hanya tertera nama pena Azzam Syamsyu Al-Haq, tapi kamu tau Din? Puisi itu secara terang-terangan ditujukan untukmu."

"Ra, nama Dina di kampus ini banyak, ga' cuma aku, mungkin saja Dina yang lain."

"Berapa banyak nama DINASTY ARIZONA di kampus kita? Hanya ada satu Din, kamu. Nama kamu terlalu unik untuk bisa sama persis dengan nama Dina yang lain."

Hening sejenak.

"Lalu masalahnya apa Ra?"

"Kamu apa ga' ingin tau Din siapakah Azzam Syamsyu Al-Haq itu? Ini bukan kali pertama dia menulis puisi cinta yang isinya terang-terangan ditujukan padamu. Apa kamu tak merasa risih Dina? Dengan semua syair mesranya yang diumbar di mading dan siapapun bebas untuk membacanya. Dina sadarlah, ini memancing fitnah datang padamu."

"Lalu menurutmu aku harus bagaimana Ra? Jika aku boleh marah sesungguhnya aku juga ingin marah tapi pada siapa? Aku tak tau siapa Azzam Syamsyu Al-Haq itu, pun untuk melepas karya tulisnya yang slalu terpajang rapi di mading itu aku juga tak bisa, karna pihak mading menolak untuk melepasnya. Aku sudah pernah coba bicara tapi kata mereka puisi itu sebuah karya sastra yang wajar selama tak ada unsur penghasutan."

"Din, sadarkah kamu? Hal ini memancing fitnah untukmu. Siapapun yang membaca pasti mengira bahwa kamu punya hubungan isimewa dengan Azzam Syamsyu Al-Haq itu. Ini sudah kesekian kalinya dia menyatakan terang-terangan dalam tulisannnya segala kekaguman dan perasaannya padamu, tapi apakah dia tak pernah sadar bahwa justru tulisannya memancing fitnah besar untukmu. Dina, kamu harus menentukan sikap. Kamu muslimah yang punya prinsip! Lalu kenapa kamu jadi seperti mau mengalah pada keadaan? Ayolah Dinasty Arizona... muslimah yang slalu bersahabat dengan hujan. Aku yakin kamu punya jalan yang jenius untuk menghentikan ulahnya tanpa harus melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu. Dina, jika dia memang punya niat yang baik padamu harusnya dia bisa membaca dirimu dengan semua karakter dan prinsip yang sudah kamu pegang. Menghargaimu dan menjagamu, mencintai dalam diam tanpa mengundang fitnah datang dan bertebaran."

Air mataku tiba-tiba meleleh sesaat mendengar apa yang dikatakan oleh Sara, aku pun berfikir bagaimana caranya menghentikan ulah dari Azzam Syamsyu Al-Haq, si penulis yang sungguh sebenarnya kuakui dia memiliki keahlian bahasa dan keindahan dalam berpuisi. Entah mengapa puisi itu berkelebat dalam otakku.

CINTA SEGENGGAM PASIR

jika cinta itu layaknya sebuah pasir dalam genggaman tangan

ketika kau menggenggamnya terlalu erat maka pasir itupun akan hilang dan jatuh berguguran

Pun tak ada ubahnya jika kau menggenggamnya terlalu longgar, pasir itu pun akan jatuh berguguran lewat celah jemarimu tanpa harus permisi untuk meninggalkan genggaman tanganmu.

Maka jika Cintaku padamu ibarat Cinta Segengam Pasir, aku tak ingin memegangmu terlalu kuat hingga kau pergi dariku namun aku juga tak ingin menggenggammu terlalu longgar hingga aku tak menyadari kepergianmu.

Maka kan kupegang pasir itu dengan menengadahkan tangan layaknya sepasang tangan yang slalu berdo'a dan siap meminta padaNya agar cinta yang kurasa layaknya cinta seperti Aisyah dan Baginda

Azam Syamsyu Al-Haq
Teruntuk Cinta Segenggam Pasirku
"Dinasty Arizona"


Aku hanya bisa menggigit bibirku karena tak mampu menyangkal apa yang dikatakan Sara benar adanya, namun aku juga tak punya daya untuk marah atau mencegah dia menulis yang dia suka. Sejauh kesadaranku, sampai detik ini aku sudah berusaha untuk menjaga izzah dan iffahku namun Ya Allah, apakah ada yang salah dengan prinsip dan cara penjagaan diriku? Sungguh, kali ini aku ingin lebih banyak bercerita pada hujan tentang gemuruh di hatiku yang seolah akan jadi badai jika kusimpan sendiri.

Hujan, haruskah detik ini kulemparkan payung yang sedari tadi menghalangi untuk bercanda denganmu? Kemudian kubiarkan saja kita akrab bercanda seperti biasanya tanpa peduli berpasang-pasang mata yang aneh memperhatikan kita. Aku ingin bercanda denganmu hujan detik ini, agar aku tahu bahwa aku tak sendiri. Allahumma ikfinihim bimaa syi'ta.

Tentang M Hasyim Azhari

FLP Lumajang bertekat akan mencetak ribuan pejuang pena untuk menuliskan sejarah indah tentang Lumajang, dengan sejuta kelebihan daya tarik dan pesona keindahan pariwisata serta masyarakatnya yang ramah.
«
Selanjutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Tinggalkan pesan atau komentar